Total Tayangan Halaman

Selasa, 05 April 2011

ANJING ITU MATI OLEHKU

ANJING ITU MATI OLEHKU 
Cerpen Akar Jerami



Sore itu, Sarmadi tampak semangat mengayuh sepedanya. Melewati jalan yang menuju ke arah kampung Karangjoho. Pada setang sepeda tergantung buntalan kantong plastik hitam berisi gula-teh, gambir-suruh dan kain jarik yang dibelinya dengan kontan pada pedagang keliling yang biasa suka menghutang-hutang kan dagangan  dan mengambil laba lebih denngan cara penjualan seperti itu.
Beberapa kali Sarmadi berpapasan dengan orang-orang. Seperti biasa, mereka saling bertutur sapa, atau setidaknya saling melempar senyum dan sekedar menganggukkan kepala. Angin sore itu sangat bersahabat, meniup-niup buntalan kantong plastik hitam yang  tergantung, menimbulkan suara menyerupai Dlemenan¹ . Terkadang Sardi, _begitu kadang dia di panggil_ sedikit  memejamkan mata, mencoba merasakan belaian alam tanah kelahiranya yang lama ditinggalkan. Sepeda pun terasa ringan dikayuh, entah karena jalan yang agak menurun, atau hanya perasaaanya saja.
Sepanjang jalan yang dilalui keadaannya memang sudah lumayan membaik, dibanding empat setengah tahun yang silam. Sebelumnya lebih sering dikatakan mirip sungai yang kering, karena pengerasnya masih berupa tatanan batu-batu yang lepas, sehingga bila hujan turun akan muncul kubangan air berlumpur.
Memasuki dusun Karangjoho, di dekat surau Sardi berhenti. Pelipisnya tampak  mengkilat karena basah. Sesaat dia mencoba megatur hela nafas dan membetulkan letak peci bludru yang bertengger tenang dikepalanya, lalu kembali mengayuh sepeda, akan tetapi kali ini lebih pelan dan lebih diatur irama kayuhannya.
Hanya melewati beberapa bangunan rumah dia berhenti lagi dan turun dari sepeda, menuntunnya, masuk ke pekarangan sebuah rumah. Sepeda itu kemudian disandarkan pada pohon Sawo yang tumbuh di dekat kandang kambing. Kambing-kambing pun gaduh mengembik-embik ketika tahu ada gelagat orang yang lalu. Mungkin dikiranya sang majikan yang akan memberi ramban².
“Hem………. Baru empat setengah tahun, sudah  banyak yang berubah. Sebelumnya, kadang ini lebih merapat ke sumur. Isinya pun cuma dua ekor dan seekor cempe. Sekarang,  kalau dihitung dari jenis suara embikannya saja kira-kira ada delapan macam suara. Rumah ini dulu juga belum dilabur putih seperti sekarang ini.
Sarmadi mengurai simpul yang menggantungkan buntalan plastik dengan setang sepedanya. Tiba-tiba, entah dari arah mana, muncul wanita tua, tangannya menenteng sabit mulutnya komat-kamit, pipnya cembung sebelah seperti tembolok ayam.
“Madi! Sarmadi?! Kapan pualang Le?”
Sarmadi terkejut dengan kedatangan wanita itu.
“Oh ! Mak Jum?! E….. sudah dua hari mak. Selasa malam saya sampai rumah. Semua sehat-sehat saja to mak?”
“ya….. Alhamdulillah sehat-sehat saja”. Jawab mak  Jum sambil menyelipkan sabit pada pagar kandang.
Sarmadi mendekat, dijabat dan diciumnya tangan Mak Jum. Kemudian dia merogoh buntalan kantong plastik hitam dan mengeluarkan gambir  dan seikat sirih.
“Ini mak, buat sampean”.
Mak Jum menerima buntalan itu dengan senang, lalu dia menyobek sehelai yang menyembul dari ikatan dan mennguyahnya. “ Wah…………. Wangi tenan, benar-benar sedep Le ! Dari pada Serabi, kalau saya mathuk³ ini”. Kata Mak Jum sambil terkekeh.
“ Mak? Belum berangkat ke langgar to?”
“Belum. .Ada, ada di dalam”. Jawab Mak  Jum tanpa melihat kearah Samardi. Dia masih larut dalam lembran Sirih yang berada di tangannya.
“ Sudah ! Langsung masuk saja ! Paling-paling dia di pawonแนช*¹”. Kata Mak Jum ketika melihat Sarmadi tampak kaku di depan pintu. Bagaimanapun juga, Sarmadi tetap merasa kurang sopan, ketika dia berkepentingan masuk rumah orang lain tanpa harus ketuk-ketuk pintu, sekedar berucap kula nuwunatau salam. Meski hal itu sepengetahuan si pemilik rumah, baginya tidak sesuai dengan unggah-ungguh*²  orang yang bertamu.
“ Siapa Mak?” dari dalam terdengar suara wanita.” oh…… kang Sarmadi?! Monggo…. Silahkan masuk kang!”
Sarmadi seperti linglung memasuki ruangan itu. semua berubah jauh dari sebelumnya. Dulu ruang depan itu tampak lebih luas, sekarang tampak sempit oleh kamar baru yang berdinding triplek putih. Meja yang berada di depanya dulu jugan tidak ada taplaknya. Penciuman samardi merasakan ada yang berubah. Yah ! udara di depan rumah sudah tidak lagi berbau pesing. Padahal dulu dia sering menahan nafas ketika meminum kopi yang disuguhkan . tapi sekarang lebih tercium aroma minyak kayu putih dan lulur Parem.
“Mungkin yu Ndarmi dan bayinya di sini, tadi disamping rumah juga tampak ada popok yang dijemur”. Gumamnya lirih didalam hati.
“Kang, kok diam saja?” pertanyaan Yati sangat mengejutkan. Padahal suaranya  biasa-biasa saja.
Sarmadi semakin rikuh .”E… Oh iya Nduk, ini buat telesan*³”.
“Apa sih kang, ko repot-repot? Kapan sampean pulang?” Tanya Yati sambil meletakkna pemberian Sarmadi dikursi yang berada disampingnya.
“Malam Selasa kemarin sampai rumah”. Jawab Sarmadi
“Ah… rasanya baru seminggu saya mengantarkan sampean ke rumah Pak Lek Slamet, sewaktu akan nunut truknya ke pelabuhan”. Perempuan yang di panggil Yati itu bangkit, membawa buntalan kantong plastik dan memasukkannya kedalam almari yan berada di dekat pintu kamar.
Tanpa bermaksud menjawab, Sarmadi berkata. “Yah…! Waktu kalau sudah berlalu memang terasa singkat  to?”. Matanya tertuju pada sebua paku karatan yang tertanam pada dinding dekat jendela. Raut mukanya menegang seperti ketika dia membuka amplop surat yang kiriman orang tuanya, dulu sewaktu di perantauan.
”Yat ! Yati !?.
“Ada apa Kang ?” Jawab Yati seraya mendekat Sarmadi.
“Gambar yang dulu itu mana? Pecah kacanya? Atau bingkainya keropos?!”
Yati hanya diam saja, atas pertanyaan yang dilontakan beruntun. Entah mendengar entah tidak. Dia hanya manggut-manggut, sementara matanya tertuju pada sulaman dua ekor Kepodang yang bertengger di pohon Asem di hamparan taplak meja. Telunjukna meraba-raba mengikuti pola sulaman itu.
“Kalau memang kacanya pecah, atau bingkainya keropos, besok Sabtu aku ke pasar. Nanti sekalian ku bawa”.
Sarmadi melanjutkan pembicaraannya, menawarkan diri.
Yati sudah tidak manggut-manggut lagi. Mata dan telunjuknya juga sudah tidak berurusan denga sulaman kepodang lagi. Dia tertunduk,terdiam. Pandanganya kosong, layaknya orang kesambet**¹.
Sarmadi merasa terusik dengan perlakuan Yati.
“Yat ! Kenapa kau diam saja Yat?!”
“ Ya Kang?!”
Yati mengangkat mukanya perlahan, kemudian menunduk lagi.
”Gambar itu masih ada saya simpan di lemari kamar. Kaca dan bingkainya juga masih bagus”.
“ Loh ! Kenapa tidak kau pasang lagi?! Memangnya kenapa to?”
Belum terjawab pertanyaan Sarmadi. Tiba-tiba dari arah kamar depan terdengar suara tangisan bayi, merengek pilu, membuat linu persendian seperti suara mata gergaji yang diasah dengan kikir. Yati segera bergegas menuju sumber suara itu. Beberapa saat kemudian, tangisan itu_pun reda.
Sore, kembali hening, hanya kotek ayam dan embikan kambing yang beberapa kali terdengar. Batin Sarmadi bergejolak. Berbagai pertanyaan tumpang-tindih, menyesakkan dada. Dicarinya kemungkinan-kemungkinan jawaban yang mungkin, tapi semua itu membuatnya semakin gelisah.
“ Kang ini gambarnya”.
Tanpa disadari Yati sudah berada di depan meja, menyodorkan sebuah gambar pemandangan pantai didalam bingkai cokelat yang berkaca. Meskipun tampak usang, tapi dapat di pastikan, gambar itu sangatlah terawat.
Yati mengambil tempat duduk dan meletakkan gambar itu perlahan di atas meja.
“Sampean tadi bertanya perihal gambar ini? Kenapa tidak saya pasang ?!”.
Sarmadi semakin tertegun.
“Sampean tadi pastinya juga mendengar tangisan bayi itu to? Tangisan itu yang menyebabkan saya tidak bisa lagi memasang gambar ini kang. Gambar yang sampean beli ketika kita pulang plesiran dari Karangbolong.”
Yati kembali terdiam, suaranya tertahan di kerongkongan.
“ Lantas ada apa Yat?!”.
“Suara itu, suara tangisan anakku Kang”.
“Apa yat ! Tangisan anakmu !”.
Sarmadi terperanjat. Bola matanya tampak melebar ditumbuhi guratan-guratan seperti akar serabut yang berwarna merah. Tubuhnya bergetar.
Pernyataan Yati itu sungguh membuatnya porak poranda.
“Benar Kang.  Sampean tidak salah dengar, jelasnya saya sekarang sudah menikah.Yah saya sudah menikah dengan Mas Suryo, dan bayi di dalam kamar itu anak kami”.
Suara Yati tersendat, bibirnya bergetar, Dari sudut matanya  keluar untaian-untaian bening mengaliri lekukan-lekukan pipinya, terasa hangat. Dan aliran itu bermuara di atas kaca gambar yang berada di atas meja.
“ Suryo ! Kamu menikah dengan Suryo ! Mantri Puskesmas itu !?”. dada Sarmadi semakin bergemuruh nafasnya mendengus-dengus  seperti Kerbau yang menghela bajak di musim labuhan**².
“Hah ! Ternyata pemikiranku selama ini salah Yat ! Padahal aku sangat percaya kepadamu. Kemana lagi ucapan-ucapanmu yang dulu itu ?! Empat tahun lebih aku merantau ke Kalimantan. Jauh dari orang tua, jauh dari tanah kelahiran, lebih-lebih dari kamu Yat ! Lalu sawah di dekat SD Inperes itu akususuki**³, itu semua demi kamu”.
Yati semakin bergejolak  hatinya. Air yang mengalir di pipinya semakin deras. Suara embikan kambig dan kotek ayam seperti memperolok_Dasar wanita murahan ! Penghianat ! Demi hasrat duniawi engkau rela memupuskan harapan lelaki yang tulus mencintaimu. Sungguh tidak berperasaan !_ Suara-suara itu jelas menghujat dirinya.
“ Tidak kang ! Jangan sampean mengira saya seperti itu. Saya masih seperti yang dulu. Tetap mencintai sampean kang ! ”
“ Hah ! Mencintai aku ?! Apakah bayi yang merengek itu bukti kalau kamu masih mencintai aku !? Dasar Sundal ! ”.
Sarmadi seperti tersedak kehabisan kata-kata. Dadanya semakin turun naik dan tubuhnya semakin gemetar. Sesaat mereka terdiam. Hanya desus-kemerisik angin yang mesra membelai-belai  daun bambu di belakan rumah dan suara tampian beras Mak Jum di samping rumah. Sesekali terdengar pula dia seperti bercakap-cakap dengan ayam-ayam yang mengerubung, kadang seperti memarahi ayam nakal yang mencoba mencuri beras dari bakul.
“Duh Gusti …” Keluh Yati dalam hati.
“Apakah jalan hidup yang aku pilih ini salah ?! Bukankah yang telah saya lakukan ini adalah perkara yang baik bagi saya, dan juga Kang Sarmadi !? Karena aku tahu, atas dasar cintanya, dia akan selalu mengupayakan apa yang saya inginkan. Dan saya, atas dasar sifat kemanusiawian yang hinggap di hati ini, selalu mengharapkan gemerlap duniawi. Akan tetapi keadaan kang Sarmadi, dengan hidupnya yang serba pas-pasan itu, tentunya akan sangat terbebani bila kami harus hidup bersama. Dan itu artinya sama saja bahwa dirinya akan menjadi budak bagi saya. Saya tidak rela dengan hal itu Gusti. Karena saya sangat mencintainya. Oleh karena itulah saya berusaha menyelamatkannya, dari Perbudakan yang disebabkan oleh cintanya kepada saya dan juga ambisi saya yang tak terkekang oleh harta duniawi.
Manusia tidak bisa kenyang dengan cinta, buaian dan belaian saja bukan? Karena itu semualah, ketika mas Suryo datang dengan segala hal yang dapat memenuhi apa yang saya inginkan, terus terang saja saya susah untuk tidak menyambut dan tidak menerimanya. Apalagi jika ditimbang-timbang jasanya terhadap kami, ketika Simbok sakit Malaria. Dirinyalah yang mengurus serta menjamin pengobatan Simbok. Karena kami sendiri tidak mampu untuk melakukan itu. Lalu ketika saya menerima Mas Suryo sekaligus sebagai wujud balas budi, bukankah itu suatu tindakan yang terpuji? Dan saya meninggalkan kang Sarmad,i karena saya sangat mencintainya. Cinta itulah yang membunuh nafsu saya untuk memilikinya”.
Sarmadi belum puas rasanya menampar yati dengan sumpah-serapahnya. Akan tetapi dirinya sudah benar-benar kehabisan umpatan. Hanya bibirnya yang bergetar menanggung kecamuk di dadanya. Menahan amarah, sakit hati dan kekecewaan yang sangat mendalam, karena harapan yang pupus. Harapan untutk memiliki Yati seluruh jiwa dan raganya.
Dia rela melakukan apa saja demi membahagiakan wanita itu, asalkan harapannya untuk merajut hidup bersama terpenuhi. Karena  baginya cinta adalah perbudakan. Orang yang mencintai harus rela menjadi budak bagi orang yang dicintai. Selain itu hanyalah layaknya akad jual-beli di pasar barang loakan.
“Diriku memang tak sebanding dengan si mantri  itu. Dirinya serba berkecukupan. Tentunya kamu pun sudah menikmatis semuanya bukan? Hah…! Dari dulu orang miskin memang selalu diperlakukan sama.”
Yati tak kuasa mengucapkan sepatah katapun. Semua otot dan persendiannya lemas-lunglai.
Tiba-tiba tangisan bayi itu terdengar lagi. Semakin lama semakin keras meraung-raung. Bagi Sarmadi, suara itu bukan lagi seperti suara gergaji yang diasah dengan kikir akan tetapi suara itu kini menjelma gergaji yang menyelinap masuk kedalam dadanya  dan menggorok-gorok hati menjadi potongan-potongan kecil. Namun dia tetap bersabar menahan diri untuk tidak lagin terpancing amarah.
Sebenarnya tak sampai hati Sarmadi bersikap demikian terhadap wanita yang dicintainya. Hanya saja dia tak kuasa menahan nafsu amarah, nafsu yang selalu menjerumuskan manusia kedalam jurang kenistaan. Dan ketika dia sadar akan hal itu. Sarmadi segera dapat mengendalikan diri, selanjutnya dia merasa rela untuk melepaskan Yati.
“Mengapa kamu biarkan saja Yat?” Tegur sarmadi mengingatkan.
Yati bangkit perlahan berjalan lunglai menuju kamar. Tangisan bayi itu_pun reda sesaat setelah dia berada di dalam kamar.
Dari kejauhan sayap-sayup terdengar suara Mbah Rapingi melantunkan ayat-ayat suci, pertanda senja segera berganti malam dan sebentar lagi adzan Magrib akan segera dikumandangkan. Suara itu masih sama seperti dulu, merdu mendayu-dayu. Hanya saja pada beberapa bagian ayat-ayat yang panjang, sekarang terpenggal menjadi beberapa bagian. Mungkin karena usia si Marbot ***itu sudah bertambah udzur, sehingga nafasnya menjadi tidak sekuat dulu lagi.
“Sebentar lagi maghrib. Aku pulang Yat. Maafkan semua salahku”. Sarmadi melangkah keluar rumah tanpa menunggu persetujuan yYati.
Di luar Gangsir-gangsir sudah mulai memamerkan suaranya. Sarmadi segera menghampiri sepedanya.
Tanpa diduga, tiba-tiba seorang lelaki berpakaian setelan putih terengah-engah berlari ke arahnya, memasuki pekarangan rumah. Tangannya menenteng tas kulit berwarna hitam, kakinya telanjang, mukanya sangat panik.
“Oh.. inikah si Mantri itu?”
Tanpa berfikir panjang, Sarmadi melolos sabit yang terselap di kandang kambing. Dia berlari menyambut lelaki itu dengan gesit, tangannya terasa ringan mengayunkan sabit yang tergenggam, dan….
“Cras………! Cras……!
Beberapa kali tangan disabit mendarat di kulit sasarannya, menembus daging dan meretakkan tulang.
oOo

Sabit itu sekarang berwarna merah, amis.  Darah bersimbah di hadapan. Sarmadi tertegun linglung. Tanpa terasa sabit yang berada di tangan jatuh berdentang menimpa sekepal batu. Dia hanya bisa mengingat ketika sabit itu dilolos dari pagar kandang kambing. Dan tahu-tahu sekarang semua sudah memerah, tangan, lengan kemeja dan kakinya.Semua memerah.
Dari dalam rumah Yati berlari menjerit. Sarmadi segera mengambil sepedanya dan menuntun cepat keluar dari pekarangan rumah itu.
“Mas! Tunggu!”.
 Laki-laki berpakaian setelan putih itu setengah berlari mengejar Sarmadi , kemudian menjabat tangannya.
” Perkenalkan nama saya Suryono. Tapi panggil saja Suryo. Terimakasih sampean sudah menolong saya. Seandainya sampean tidak membunuh anjing-anjing gila ini, barang kali saya akan segera terkena rabies mas. Siapa nama sampean?”
Sarmadi hanya melongo menatap lelaki itu.
 “ eh………… iya, ini hanya sekedar sebagai unkapan terimakasih dari saya, jangan kau nilai dari angkanya ya  mas”.
Lelaki itu memasukkan delapan uang lembaran seribuan ke saku kemeja Sarmadi.
Sarmadi hanya terdiam. Kemudian segera dia mengayuh sepedanya sekuat tenaga meninggalkan semuanya-termasuk Yati, bayi di gendongan dan tangisannya menerobos remang-remang,
Senja merangkak dari arah timur menjemput malam. Angin bertiup mengusutkan rambut, menggoyangkan dahan-dahan yang mulai tampak seperti Gendruwo yang bertengger bila dilihat dari kejauhan. Udara terasa alot dihela. Dada Sarmadi kembang-kempis, sepeda-pun terasa berat dikayuh. Entah karena jalan yang agak menanjak atau mungkin karena luka bekas gigitan anjing itu sudah mulai menjalar racunnya. Yang jelas ini bukan sekedar perasaan saja.
Darah menetes dijalanan. Tubuh kurus itu menggigil ketika angin bertiup. Demam mendekap erat sekujur tubuhnya. Otot-otot dan persendian seperti hilang. Tiba-tiba dunia terasa sangat gelap, hingga jasadnya sendiripun dia tak mampu melihat. Semua hitam.
Kemudian samar-samar dari kejauhan muncul Yati menggendong anaknya mengenakan pakaian hitam. Di sebelahnya tampak mantri suryo juga mengenakan setelan hitam. Mereka melambai-lambaikan tangan kepadanya. Dan kemudian semua kembali hitam.//

TAMAT


Dlemenan
:
Semacam peluit yang terbuat dari batang padi
Ramban
:
Dedaunan yang disediakan sebagai makanan hewan ternak
Mathuk
:
Cocok, sesuai dengan apa yang diharapkan
Unggah-ungguh
:
Sopan santun, tata cara
Telesan
:
Kain sebagai pakaian yang dikenakan ketika mandi
Nunut 
:
Numpang
Kesambet
:
Kerasukan setan
Susuki
:
Memberikan kekurangan uang/memberikan ganti/kembalian berupa uang
Labuhan
:
Awal musim tanam
Marbot
:
Penjaga masjid/ surau